Oleh : Moh. Rofiq Risandi
Mahasiswa : Univeristas Islam Malang
Fakultas :
Ilmu administrasi
Prodi : Administrasi publik
Ketua
umum kajian interdisipliner karya ilmiah universitas islam malang
Para penguasa memahami demokrasi sebagai
yang terwujud dalam pembentukan para wakil rakyat. Terbentuknya para wakil
rakyat melalui Pemilu jelas sudah menampilkan apa yang disebut sebagai demokrasi.
Demokrasi Pancasila jelas bukan demokrasi yang elitis. Ada dua cara pandang
yang bisa digunakan untuk meneropong realitas elitisme ini. Di satu pihak,
kelompok elit ini mempunyai komitmen bagi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia
(sebagaimana terbukti dalam sepak terjang kaum cendekiawan dan kaum
pergerakan). Mereka telah berjasa dalam memikirkan identitas Indonesia. Di
pihak lain, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi
sosial yang akan mengubah secara total sistem yang ada (dengan segala corak
kapitalis-kolonialismenya). Kaum elit pergerakan ini lebih memandang perlu
untuk melengserkan pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elit
lokal. Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, dan
bukannya revolusi sosial. Bagaimana prinsip anti-elitisme ini diterapkan dalam
bidang ekonomi dewasa ini? Ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih
mengikuti kaidah-kaidah persaingan sehat, produktivitas yang senantiasa
meningkat, dan mengurangi berbagai diskriminasi. Demokrasi di ekonomi juga 28
menghendaki good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas,
transparansi, dan akuntabilitas.
Lalu, bagaimana dengan sistem penguasaan?
Penguasaan ditafsirkan sebagai kepemilikan. Ini lebih cocok dengan paham sosialisme
asli. Sekarang partai sosialis dan partai buruh di negara-negara industri,
seperti di Inggris dan Eropa, sudah melonggarkan visinya terhadap penguasaan
lewat kepemilikan ini. “Penguasaan” bisa juga diikhtiarkan lewat “pengaturan”
(regulation) sehingga pemerintah lebih berperan sebagai “regulator”. Kedudukan
koperasi di pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi objek kontroversi. Apakah bentuk
usaha koperasi “dimahkotakan” atau harus dipandang sebagai salah suatu bentuk
usaha dan pelaku di perekonomian nasional? Pengalaman selama lima puluh tahun
tahun menyatakan bahwa koperasi tidak mungkin dijadikan bentuk usaha yang
dominan. Bentuk usaha koperasi lebih dipandang sebagai suatu bentuk usaha
“non-profit” ketimbang sebagai bentuk usaha yang berdasarkan penumpukan modal
dan yang bekerja untuk meraih keuntungan. Secara nominal, keputusan di koperasi
diambil berdasarkan “one-man-one-vote” yang memang lebih demokratis. Sistem ini
berbeda dengan apa yang terjadi dalam perusahaan yang kapitalistik di mana
keputusan diambil berdasarkan sistem “one-share-one-vote.” Tampak bahwa dalam
koperasilah sistem gotong-royong dapat diakomodasi, di mana manusia di dalamnya
tidak dihitung berdasarkan besar/kecilnya modal yang ia tanam.
Ekonomi
Indonesia adalah ekonomi Pancasila yang dicirikhasi oleh semangat
gotong-royong. Soekarno menggagas ekonomi Indonesia yang disemangati oleh
kegotong-royongan yang secara konkret diejawantahkan dalam bentuk koperasi.
Lalu bagaimana asas kegotong-royongan bisa diterapkan untuk mengikis kecenderungan
elitisme negatif politik dewasa ini? Situasi Indonesia dewasa ini memang
diperparah oleh pertarungan para elit politik. Melihat semua ini sebagian besar
rakyat sedikit demi sedikit mulai merasa muak. Mereka muak karena ternyata
semua pertikaian itu bukannya untuk membela kepentingan rakyat banyak, bahkan
nada pesimis dari rakyat sebagai berikut kerap terlontar setiap kali kegiatan
politik berlangsung: 29 “Apa kalau bapak-bapak itu sidang lalu semuanya akan
jadi baik, pupuk jadi murah dan gampang didapat, tebu saya harganya baik, dan
anak saya bisa melanjutkan sekolahnya. Nyatanya, rakyat makin susah.”
(Mendambakan Masa Lalu yang Kejam, Kompas: Selasa, 8 Agustus 2000) Harus diakui
bahwa reformasi total yang dicita-citakan bersama tidaklah berjalan dengan
mulus. Ada banyak tantangan yang menghadang di sana-sini. Situasi ini
dimanfaatkan oleh mereka yang memahami kelemahankelemahan yang ada demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dr. Rochman Achwan menyoroti hal ini
dengan cukup lugas: “Kemunculan kepemimpinan politik dengan legitimasi kuat di
tanah air sesungguhnya merupakan momentum historis terselenggaranya tata
ekonomi, politik, dan masyarakat yang baik. Persoalannya adalah mungkinkah para
pemimpin politik di tanah air dapat menjalankan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam paradigma ini, mengingat kekacauan ekonomi dan politik pada tingkat
institusi negara, pasar, dan masyarakat hingga kini tidak kunjung usai.”
(Rochman Achwan, Kompas: Rabu, 28 Juni 2000) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
dahulu hanya terkenal sebagai tukang stempel, sekarang kelihatannya telah
berubah menjadi pengawas yang sangat ketat dalam melakukan kontrol terhadap
Presiden.
DPR seakanakan bisa berkehendak semaunya dengan mengatakan bahwa
merekalah wakil rakyat. Sungguh suatu situasi politik yang suram. Mengenai hal
ini, Umar Kayam mengatakan bahwa para pendiri bangsa sebenarnya lebih
menekankan semangat egaliter daripada menjunjung gengsi elitis: “Pada waktu
kita berhasil menyusun suatu negara kesatuan yang antara lain berasas kerakyatan
... pemerintah secara prinsip setuju untuk mengembangkan hak rakyat dengan
seluas-luasnya, mendapat semua kesempatan untuk maju. Prinsip egalitarian yang
tidak pernah ditonjolkan pada zaman penjajahan ....” Konflik politik yang
terjadi di sana-sini ternyata disertai oleh tindakan yang tidak semestinya.
Kasak-kusuk banyak dilakukan oleh para politikus 30 dengan bersembunyi di balik
terminus “lobi politik.” Aneka skandal pun dicuatkan demi menghancurkan karier
lawan politiknya. Skandal ini bisa berupa kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akan tetapi ia juga bisa berupa pemberitaan di media massa tentang
perselingkuhan yang diperbuat oleh seorang aktor politik dengan seorang wanita
yang bukan istrinya. Semua ini tentu bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik
yang dikehendaki. Harus diakui bahwa memang situasi politik di negara ini
sedang berada di titik yang terendah. Sama sekali tidak ada kesantunan dalam
berpolitik.
Kehidupan politik yang demikian tentu berdampak pada kehidupan di
bidang yang lain. Bagaimana mungkin akan tercipta stabilitas dan keamanan yang
baik jika pertentangan antarelit politik terus terjadi? Bagaimana mungkin
rakyat akan hidup dengan tenang jika setiap hari telinga mereka mendengar
berbagai argumen yang saling menjatuhkan? Bagaimana mungkin kehidupan ekonomi
akan membaik jika para pejabat terus saja bertengkar? Investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia tentu akan mengurungkan niat investasinya jika
situasi politik terus saja bergolak. Hal ini bisa dimengerti karena para
investor itu tentu ingin mengembangkan usahanya dalam suasana yang tenang.
Mereka tentu tak akan menanamkan modalnya jika seminggu kemudian kerusuhan
melanda. Mereka merugi besar jika perusahaan yang dibangunnya luluh lantak
diserang massa. Kalau begini, sebenarnya bangsa kita sendiri yang merugi.
Pengangguran tentu akan terjadi di mana-mana karena tak ada satu pun investor
yang mau membuka usaha di Indonesia. Jelas bahwa kehidupan politik itu ternyata
berimbas kepada bidang kehidupan yang lain. Semua hal di atas tentu tidak akan
terjadi bila para elit menyadari betapa pentingnya membangun semangat
kegotong-royongan dalam berpolitik seperti yang digagas Soekarno. Seperti kata
Soekarno, Indonesia bukan didirikan buat Nitisemitro, bukan buat Van Eck, dst.
Indonesia didirikan buat semua. Artinya, semua pelaku dan elit politik sudah
waktunya menimba semangat kegotong-royongan demi membangun bangsa daripada
mengedepankan kepentingan sesaat. Perbedaan pendapat dan keanekaragaman
pandangan politik tetap dihargai dan menjadi hal yang 31 lumrah, akan tetapi
semua itu tidak dapat ditoleransi lagi jika terus-menerus terjadi hingga
kesejahteraan rakyat dan kelangsungan negara. Sejak awal pembentukan negara
ini, banyak terjadi kontroversi tentang bentuk negara mengenai apakah negara
ini didirikan atas dasar agama atau berbentuk negara sekuler. Setidaknya ada
dua golongan besar yang saling berhadapan, yaitu antara kekuatan agamis dan
kekuatan nasionalis. Konflik dan masalah-masalah yang “njlimet” (rumit) terjadi
sampai akhirnya Soekarno berpidato tentang Pancasila sebagai weltanschauung
bangsa. “Semua buat semua” serta “tiada egoisme agamis,” demikian Soekarno
berbicara. Eka Darmaputera menyimpulkan bahwa Indonesia merdeka ‘bukanlah
Negara Islam dan bukan Negara sekuler,’ tetapi negara Pancasila. (Eka
Darmaputera, 1989:291).
Dasar untuk Demokrasi Pancasila ala Soekarno adalah
“semua buat semua.” Demokrasi seperti ini mengimplisitkan prinsip musyawarah
dan bukannya suara terbanyak. Bagi Soekarno, suara terbanyak justru akan
melahirkan kesewenang-wenangan dan penindasan atas minoritas. Soekarno tidak
lagi menyetujui penggunaan terminologi minoritas-mayoritas dalam membangun tata
demokrasi Indonesia. Mengapa? Karena terminologi itu lahir dari kultur liberal.
Lebih dari itu, sebenarnya satu suara, bahkan yang berasal dari kelompok
minoritas sekalipun, mempunyai arti yang sama bagi kehidupan bernegara. Sistem
gotong-royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia jelas tidak meninggalkan
kaum minoritas, bahkan sebaliknya, merangkul semua ke dalam suasana
kebersamaan. Menurut Soekarno, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni
nasionalisme dan internasionalisme (perikemanusiaan). Itulah gotongroyong.
Mengapa demikian? Karena ada nasionalisme yang tumbuh di luar prinsip kemanusiaan.
Nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme chauvinistis yang terjadi di
Jerman yang meyakini bahwa “Deutschland über Alles”. Nasionalisme Indonesia
harus tumbuh di atas kekeluargaan yang mampu mempersatukan aneka suku, agama,
budaya, bahkan batas negara sekalipun. 32 Paham gotong-royong sebenarnya bukan
hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh bangsa Indonesia saja,
melainkan juga sangat ampuh dipakai oleh anggota masyarakat internasional
(misalnya dalam kegiatan membantu korban bencana gempa bumi dan tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam).
Pancasila menurut Soekarno diambil berdasarkan
budaya bangsa secara “turun-temurun,” dan “sebagai perasaan-perasaan rakyat
yang selama ini terpendam diam-diam dalam hati rakyat.” Mpu Prapanca dalam Negara
Kertagama-nya sudah memunculkan istilah Pancasila. Kemudian Mpu Tantular dalam
Sutasomanya memunculkan istilah Bhinneka Tunggal Ika.” Tampak bahwa Pancasila
adalah gambaran pribadi rakyat sedari dulu kala. . ( Kader PMII rayon Al-Fanani)